Jayapura,- Forum Masyarakat Adat Malindo Kondo Digul dan Solidaritas Merauke meminta Pemerintah Republik Indonesia hentikan Proyek Strategis Nasional (PSN), di Merauke, provinsi Papua Selatan. Karena PSN tersebut menyebabkan banyak masyarakat kehilangan ruang hidup dan tanah adat.Hal ini terungkap melalui pertemuan, Minggu (06/10/2024) di Dusun Payum, kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan.
Simon Petrus Balagaize, Ketua Forum Masyarakat Adat Malind Kondo-Digul mengatakan, masyarakat Adat terdampak dan masyarakat calon terdampak PSN yaitu Suku Malind, Maklew, Mayo Bodol, Kimahima, dan Yei, di Kabupaten Merauke Provinsi Papua Selatan.
“Mereka (masyarakat adat) ini sebagai pemilik Hak Ulayat yang menjadi korban perampasan tanah, hutan, serta ruang hidup akibat PSN cetak sawah dan swasembada gula serta Bioetanol,”kata Ketua Forum Masyarakat Adat Malind Kondo Digul, melalui siaran pers yang diterima media ini, Selasa (08/10/2024).
Simon menjelaskan, pertemuan Adat yang dinamakan ‘Munggui Makan Malind Sasi Mayan’ tersebut dilakukan untuk memperjelas sikap mereka (masyarakat adat-red) sebagai pemilik Hak Ulayat kepada pemerintah, bahwa mereka sebagai pemilik hak ulayat konsisten dan tegas menolak kehadiran Program Pemerintah tersebut diatas tanah Adat mereka.
Masyarakat Adat menilai bahwa tindakan pembongkaran yang telah dilakukan oleh pemerintah bersama PT.Jonlin Group di Ilwayab jelas-jelas melanggar hak-hak masyarakat Adat.
“Kami sebagai masyarakat Adat secara sadar, dan terbuka telah menolak proyek berskala luas tersebut beroperasi ditatas tanah adat kami. Hal itu dibuktikan dengan melakukan ritual adat penolakan di kampung-kampung atas kehadiran program tersebut,”ungkap Simon Petrus Balagaize Ketua Forum Masyarakat Adat Malind Kondo-Digul.
Sementara Teddy Wakum, Ketua YLBHI LBH Papua Pos Merauke mengemukakan, bahwa ada beberapa pelanggaran ketentuan yang dilakukan oleh pemerintah. Penanam modal oleh pemerintah untuk kepentingan investasi di wilayah Provinsi Papua harus mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat setempat sebagaimana diatur pada Pasal 42 ayat (2), Undang Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua, namun fakta hari ini hal tersbut tidak dilakukan oleh pemerintah.
Perundingan yang dilakukan antara Pemerintah provinsi, kabupaten dan kota, dan penanam modal harus melibatkan masyarakat adat setempat sebagaimana diatur pada Pasal 42 ayat (3), Undang Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua.
Namun, faktanya masyarakat pemilik hak Ulayat tidak pernah diberitahu dan dilibatkan bahwa penyediaan tanah ulayat dan tanah perorangan warga masyarakat hukum adat untuk keperluan apapun, dilakukan melalui musyawarah dengan masyarakat hukum adat dan warga yang bersangkutan untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah yang diperlukan maupun imbalannya sebagaimana diatur pada Pasal 43 ayat (4), Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Bagi Propinsi Papua.
“Maka apabila berpegang pada beberapa fakta penyerobotan tanah milik Marga Kwipalo, dan penggusuran paksa serta pengrusakan Hutan, tanah dan ruang hidup yang sedang terjadi di Distrik Ilwayab,” ujar Teddy Wakum.
Menurutnya mak, sudah dapat disimpulkan bahwa Proyek Strategis Nasional di Merauke melanggar Hak Masyarakat Adat Papua Khususnya Masyarakat Adat Marind yang dilindungi sesuai dengan ketentuan Pasal 18b ayat (2), Undang Undang Dasar 1945 junto Pasal 6, Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia junto Pasal 43 ayat (1), Undang Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, serta Putusan Mahkama Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 tentang Hutan Adat.
Oleh karena itu, Teddy Wakum menyampaikan ada beberapa pernyataan Sikap dari Forum Masyarakat Adat Malind Kondo Digul dan Solidaritas Merauke, mendesak kepada Pemerintah Republik Indonesia.
Pertama, pemerintah wajib tunduk dan Patuh dalam menjalankan Pasal 42 ayat (2), Undang Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
Kedua, pemerintah dilarang mengabaikan Putusan Mahkama Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 tentang Hutan Adat.
Ketiga, pemerintah segera hentikan PSN Merauke Cetak Sawah di seluruh Wilayah Masyarakat Adat yang menolak.
Keempat, pemerintah Dilarang Keras melibatkan atau menggunakan LMA Siluman dan abal-abal yang selalu seolah-olah mewakili dan mengatasnamakan Masyarakat Adat Malind dan membangun Narasi bahwa masyarakat Adat menerima Proyek Tersebut.
Kelima, meminta Panglima TNI menarik mundur semua Anggota Militer dari Proyek Strategis Nasional di Merauke karena masyarakat Adat merasa terintimidasi
Keenam, kami Masyarakat Adat Kecewa dengan pernyataan Uskup Agung Merauke atas pernyataan beliau yang tidak berpihak masyarakat Adat.
Ketujuh, mendesak PT. Jhonlin Group milik Haji Izam segera hentikan aktivitas pembogkaran dan penggusuran paksa dan segera keluar dari wilayah Adat suku Maklew.
Kedelapan, Negara wajib melindungi ruang hidup dan sumber penghidupan Perempuan dan Anak yang hari ini terancam di gusur dan dirusak oleh PSN.
Kesembilan, mendesak Pemerintah Daerah (Pemda), DPRK, DPRP serta MRP terpilih se Provinsi Papua Selatan untuk segera membuat Peraturan Daerah Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat dan Mendesak kepada Calon Presiden Yang baru Prabowo Subianto untuk segerah mengesahkan RUU Masyarakat Adat. (admin)